Jumat, 06 Agustus 2010

PENDIDIKAN ANAK DI BULAN RAMADHAN

Mengajak Anak Gembira Berpuasa

Melatih anak berpuasa menggembirakan anak di bulan Ramadhan, banyak yang bisa diperbuat. Dan beberapa yang ditawarkan di sini pun bisa dijadikan pilihan. Selamat mencoba!

Makan sahur

Bangun pukul tiga dini hari, bagi anak-anak tentu sulit. Orang tua perlu sabar untuk membangunkan tanpa diwarnai emosi, kejengkelan maupun kemarahan, sekalipun harus 3 atau 4 kali. Karenanya buatlah suasana rumah menjadi cerah dan gembira, misalnya dengan alunan ayat suci Al-Qur'an, nasyid, maupun lagu anak-anak. Termasuk menikmati acara televisi. Anak mungkin belum lapar pada saat itu. Maka, ibu perlu kreatif untuk membujuk mereka agar mau makan. Misalnya dengan mengajak mereka makan di halaman rumah sambil berjalan-jalan, mengiringi anak makan sambil membacakan cerita, dan sebagainya. Untuk menu makanan, pilihlah yang praktis namun sudah cukup kalori. Susu, telur dan roti, misalnya, pilihan yang sering disukai anak-anak, tidak memerlukan waktu lama untuk memakannya, namun memenuhi kebutuhan kesehatan dan kekuatan tubuh. di bulan Ramadhan, sungguh memerlukan perhatian ekstra. Hal pokok yang patut dicatat adalah bahwa tujuan utama melatih anak berpuasa adalah agar tumbuh kecintaannya terhadap ibadah ini. Maka dalam pelaksanaan latihan, kegembiraan mereka dalam berpuasa harus lebih diutamakan daripada keberhasilan secara kuantitas. Jangan sekali-kali memaksakan kehendak, menuntut anak agar bisa berpuasa secara syar'i. Untuk bisa

Tahapan berbuka

Bagi mereka yang belum berpengalaman berpuasa, ijinkan untuk berbuka kapan saja manakala mereka tak kuat bertahan. Namun beri mereka pengertian agar kemampuan berpuasa semakin ditingkatkan, atau minimal sama dengan yang sudah. Buatlah catatan yang jelas mengenai jadwal berbuka mereka setiap hari. Beri motivasi anak untuk senantiasa membuat statistik yang meningkat, atau minimal garis lurus. Jika semula berbuka pukul sembilan, mungkin empat hari kemudian pukul sepuluh, kemudian meningkat pukul sebelas, hingga akhirnya mencapai adzan zhuhur. Dari yang semula berbuka di adzan zhuhur bisa bertambah hingga adzan maghrib. Ide untuk selalu berpuasa setelah berbuka pun bisa dicoba.

Setelah berbuka pukul sepuluh, katakan bahwa dimulai puasa babak kedua hingga berbuka kembali pukul dua siang. Kemudian puasa lagi hingga berbuka saat adzan maghrib. Jangan lupa untuk mengikutsertakan anak-anak pada saat berbuka di kala maghrib, walau mereka telah berbuka sebelumnya, atau bahkan belum berpuasa sama sekali. Berbuka maghrib adalah peristiwa ruhani yang membahagiakan mereka.

Pengkondisian lingkungan

Singkirkan jauh-jauh makanan dan minuman apapun dari pandangan anak-anak. Kosongkan meja serta almari makan. Beri pengertian adik agar tidak makan di depan kakak yang berpuasa. Bahkan gambar-gambar yang bisa menerbitkan air liur pun perlu disimpan terlebih dahulu. Alkisah di tanggal 10 Muharram, Rasulullah menyuruh orang-orang Anshar berpuasa. Mereka bercerita, 'Maka kami sesudah itu berpuasa pada hari Asyura dan kamipun menyuruh anak-anak kecil kami untuk berpuasa, lalu kami pergi ke mesjid dengan membuatkan mainan dari kapas untuk mereka. Jika salah seorang dari anak-anak itu ada yang menangis minta makanan, kami beri dia mainan itu, hingga datang waktu berbuka." (HR Bukhari Muslim)

Perbuatan kaum wanita Anshar yang kreatif mencarikan kegiatan untuk anak-anaknya sangat bagus untuk dicontoh. Dan tentunya kita bisa lebih kreatif lagi dengan didukung fasilitas yang memadai. Sarana hiburan dan telekomunikasi pun menunjang. Intinya, sangat penting untuk merelakan waktu ibu seusai Ashar, untuk menemani anak-anak bercerita, bermain atau sekadar berjalan-jalan demi melupakan mereka pada rasa lapar.

Amaliah Ramadhan

Memperbanyak amaliah bulan Ramadhan akan memberikan suasana khas keceriaan Ramadhan yang turut membantu membangkitkan semangat berpuasa. Mempersering membaca al-Qur'an, shalat tarawih dan mengikuti pengajian harian, misalnya. Juga memperbanyak sedekah, saling berkirim makanan buka puasa antar tetangga.

Hadiah Harian dan Bulanan

Memberi hadiah atas usaha anak untuk berpuasa pun bisa menambah motivasi. Kepada anak berusia di atas tujuh tahun, imbalan hadiah di akhir bulan Ramadhan akan cukup membuat mereka bersemangat. Akan tetapi bagi anak yang lebih kecil, akan lebih efektif jika hadiah harian pun mereka terima. Hadiah harian bisa berupa barang sederhana, atau bahkan hanya berupa bintang dari kertas emas yang ditempel di dinding. Janjikan sebuah hadiah jika bintang mereka mencapai sepuluh, dua puluh, atau tiga puluh. Hadiah bulanan bisa merupakan kelanjutan dari hadiah harian, dan merupakan satu jenis kebutuhan yang sangat diharap-harapkan anak-anak. Katakan bahwa hadiah itu adalah pertanda kemenangan bagi usaha mereka mengalahkan hawa nafsu.
==========
Biar Anak tidak Matre

Bagaimana mencegah tumbuhnya sifat-sifat materialistis pada anak?

Ridha menengok kanan kiri dengan matanya yang awas. Setelah yakin tak melihat ayah dan ibunya di sana, Ridha pun berjingkat mendekati laci uang, membukanya perlahan dan memasukkan tangannya ke sana untuk meraih lembaran uang lima ratusan. Perbuatan serupa sudah tiga kali ia lakukan dalam sehari itu, yang berarti ia memperoleh tambahan uang jajan dua ribu perak dari uang saku sebenarnya. Dan keseluruhan uang itu pun telah habis untuk membeli jajan, es, dan mainan.
Kedai milik orang tua Ridha memang hanya dijaga oleh ibunya seorang, sehingga tak ada yang menggantikan jaga jika sesekali ditinggal ibu.
Kesempatan terbuka lebar untuk Ridha menambah uang jajannya setiap hari. Kebiasaan ini bukannya tak diketahui oleh ibunya. Ibu hanya bisa mengurut dada melihat kebiasaan menghamburkan uang seperti itu, sementara jika dinasehati Ridha hanya pasang gaya cuek. Kira-kira berapakah usia Ridha? Jika ia anak lima tahunan, awalnya adalah wajar jika ia menginginkan uang saku yang bisa 'mencukupi' keinginan jajannya. Namun, kewajaran seperti ini harus segera diarahkan agar tidak menjadi penyakit. Jika ternyata Ridha adalah anak berumur tujuh tahun, maka kebiasaannya tersebut sudah dapat dikategorikan gejala materialisme dini.

Betul, anak-anak bisa mengembangkan sifat materialistis jika tidak dididik dengan benar sedari kecil. Beberapa dari Gejala awalnya, seperti enggan menabung, enggan berinfaq, suka jajan berlebihan, sudah bisa mulai nampak di usia enam tahun. Di usia inilah, rata-rata anak mulai mengerti makna uang serta manfaatnya bagi kesenangan mereka. Itu sebabnya bagi anda yang memiliki putra-putri usia sekitar enam hingga delapan tahun, jika anak-anak ini masih sulit mengendalikan keinginannnya terhadap uang sehingga lupa diri dan langsung habis untuk bersenang-senang dalam sehari, anda harus bertanya-tanya, apakah ada bibit-bibit materialisme yang bersemai di dalam hati mereka? Sebaiknya, segera antisipasi dengan cara mendidik anak untuk berzuhud terhadap harta. Bagaimana maksudnya? Bagaimana pula caranya?

Zuhud untuk si Kecil

Jangan mengartikan zuhud dengan tidak suka memiliki banyak harta, karena Rasulullah saw yang paling zuhud di antara kita pun memiliki banyak sekali harta. Namun, semua harta itu beliau infaqkan, hingga hanya bersisa sekedarnya untuk hidup sangat sederhana.
Beliau pernah berinfaq ladang kurma untuk sahabat-sahabatnya. Pernah pula menyedekahkan ratusan ekor kambing yang banyaknya antara dua celah gunung. Begitulah ajaran zuhud sang Rasul mulia, yaitu bahwa manusia harus mencari harta sebanyak-banyaknya, namun mampu pula menyedekahkan pula sebanyak-banyaknya dariharta itu. Esensi inilah yang akan kita ajarkan kepada anak-anak kita. Agar mereka mampu mensyukuri nikmat harta yang mereka miliki, agar bisa menghayati bahwa semua harta itu milik Allah jua, selanjutnya agar rela memberikan sebagiannya kepada orang lain. Anak yang terdidik untuk zuhud terhadap harta, maka ia akan suka menabung, suka bersedekah, lebih mudah menahan keinginannya untuk membeli sesuatu, dan sikapnya ringan menghadapi masalah uang. Jika ada pun mereka terima, tetapi jika tak ada pun tak menjadi masalah. Anak-anak seperti ini tak akan terpengaruh oleh krisis moneter, sebab mereka mudah menerima perubahan dari
kaya menjadi miskin.

Semua Harta Milik Allah

Inilah konsep dasar yang harus ditanamkan ke dalam pengertian anak sedini mungkin. Semenjak mereka mulai bisa berkomunikasi dengan orang tuanya, juga dengan teman-temannya. Terutama, ketika usia anak sekitar lima tahun, dimana umumnya sifat egosentris telah mulai memudar dan anak mulai bias menerima pengertian.

Penanaman konsep ini memerlukan waktu sangat lama, bisa bertahun-tahun. Jangan sekali-kali mengharapkan hasilnya akan terlihat hanya dalam satu atau dua tahun. Yang diperlukan adalah konsistensi, keistiqamahan orang tua dalam mendidik, serta kepekaan untuk memasukkan nilai-nilai ini ke dalam praktik kehidupan sehari-hari. Inti dari nilai yang ingin kita tanamkan kepada anak di sini adalah: bahwa semua barang dan uang yang mereka miliki sebenarnya adalah milik Allah yang dititipkan kepada kita selama di dunia. Titipan itu harus kita jaga baik-baik, dan penggunaannya kelak akan dimintai pertanggungjawaban di akhirat. Dan yang lebih penting, bahwa siapa yang dititipi harta banyak dan yang sedikit, itu terserah Allah, tidak berarti yang satu lebih mulia dari yang lain.

Mengisahkan Ayat Allah

Jika ada waktu yang dianggap tepat untuk bercerita kepada anak-anak, semisal menjelang tidur, saat makan, atau saat bermain bersama, menyinggung tentang firman Allah dalam surat at-Takatsur ayat 1 dan mengartikannya secara bebas akan banyak bermanfaat.

Anak yang masih kecil mungkin belum cukup memahami maksud ibunya, namun jika dilakukan berkali-kali, minimal mereka akan merekamnya terlebih dahulu, sehingga mudah diberi pengertian nantinya. Untuk anak balita, menerangkan tafsir ayat dengan bantuan gambar-gambar menarik akan lebih mudah masuk ke dalam memorinya.

Ketika Mendapat Rezeki

Ketika anak memperoleh rezeki, senantiasa ingatkan bahwa semuanya itu dari Allah semata. Pengertian rezeki bukan terbatas pada bentuk uang saja.
Makanan, minuman, pakaian, mainan, baik yang membeli, maupun diberi orang, kesehatan, keselamatan perjalanan semua dapat dikatakan rezeki. Sembari memberikan uang jajan bekal sekolah, mengingatkan, "Lima ratus perak harta Allah dititipkan padamu pagi ini, pergunakan baik-baik di sekolah, ya." Atau berpesan saat mengenakan baju usai mandi sore, "Pakaian bagus ini Cuma titipan, bukan milik kita. Kalau kita mati, ditinggal semua di sini. Kita mati nggak bawa apa-apa." Proses awal ini tidak akan bisa cepat diterima anak, karena bertentangan dengan fitrah egosentrisme mereka, yang menganggap segala sesuatu adalah miliknya. Itu sebabnya orang tua tak boleh bersikap memaksa. Konsep 'semua harta milik Allah' hanya bisa diperkenalkan terlebih dahulu, dan bisa makan waktu berbulan-bulan. Namun, semakin sering diupayakan pengenalannya, akan semakin cepat mengikis sifat egosentris anak. Ketika Kehilangan Barang Betapa sedih hati sikecil, ketika balon di tangannya meletus. Meledaklah tangisnya menyesalkan kesialannya. Padahal balon milik teman-temannya masih bagus-bagus. Biarkan anak menangis supaya hatinya sedikit lega. Setelah tenang, masukkan pengertian bahwa balon itupun hanya harta titipan semata, bukan milik kita. Begitu pula dengan balon lain yang ada di tangan teman-teman. Semua cuma titipan.

Jika Enggan Meminjamkan

Kebahagiaan dan kebanggaan seorang anak ketika memperoleh barang baru, seringkali membuat mereka enggan meminjamkannya kepada teman lain. Sebenarnya hal ini masih wajar, karena toh barang itu milik mereka. Namun, untuk melatih empati anak serta meningkatkan kemampuan bersosialisasinya, akan lebih baik jika kita beri motivasi mereka untuk mau berbagi dengan orang lain. Ibu bisa katakan, "Sayang, mainan itu toh milik Allah juga. Hanya dititipkan sementara padamu. Kalau dipakai bersama-sama akan lebih baik.Pahalanya kamu yang dapat."

Kepekaan Sosial

Jangan dilewatkan kesempatan ketika mobil berhenti di perempatan jalan, dimana banyak anak menjajakan kue, kertas tisu maupun koran. Bangkitkan empati anak dengan menceritakan gambaran kehidupan anak-anak jalanan yang sengsara itu. Atau manakala melewati rumah-rumah gubuk dan kumuh, ajaklah anak membayangkan seandainya mereka yang harus tinggal di sana. Juga ketika melihat tukang sampah yang menarik gerobak sampah hingga berpeluh di bawah terik matahari. Dan seribu satu sisi-sisi kemiskinan lain yang banyak dapat kita jumpai di mayarakat. Ajaklah anak mensyukuri nikmat Allah yang memberikan titipan harta cukup banyak kepada kita. Dan bahwa titipan sebanyak itu pun semata karena rahmat Allah, bukannya karena kepandaian kita saja. Akhirnya, tumbuhkan kesadaran anak bahwa satu ketika kelak bukan tak mungkin kehidupan kita berubah menjadi miskin seperti itu. Maka dari itu, ketika berkecukupan janganlah foya-foya. Hidup sederhana saja, supaya jika nantinya harus jatuh miskin mereka tidak terlalu kaget.

Menabung dan Berinfaq

Memberikan teladan untuk menabung dan berinfaq secara rutin akan sangat efektif untuk mendidik anak agar tidak mata duitan. Akan lebih baik jika
ibu memotong langsung uang infaq dari uang saku mereka. Dengan begitu anak merasa telah menyisihkan uang dari hartanya sendiri. Sedekah yang diambilkan dari dompet ibu masih kalah efektif walau yang memberikannya kepada pengemis adalah anak-anak.

Berlatih Miskin

Sesekali, rekayasa satu kondisi tanpa harta. Beri pengertian kepada anak bahwa harus ada penghematan, karena anggaran menipis. Maka, potong uang saku mereka. Sederhanakan lauk di meja makan. Tahan keinginan mereka untuk membeli sepatu, tas atau barang baru lainnya. Ingatkan kembali tentang teman-teman yang bernasib lebih malang dari mereka. Momen puasa Ramadhan, sangat pas untuk keperluan ini. Di kala anak mengeluh karena perut melilit menahan lapar, itulah saat terbaik untuk menumbuhkan empati mereka kepada orang-orang miskin. Jika empati ini telah tumbuh, lebih mudah bagi kita untuk mengajak mereka hidup zuhud, dengan mengurangi pengeluaran dan memperbanyak tabungan serta infaq.•

Ramadhan dan Pendidikan Afektif

oleh : Mardias
Perputaran waktu terasa begitu cepat, terlebih bagi kita yang bekerja tak kenal waktu, sepanjang siang atau malam yang terkadang kitapun lupa, sehingga tak terasa bulan Ramadhan yang mubarak tahun ini kembali kita masuki, tentu saja memasukinya dengan perasaan senang. Karena itu tiap kali Ramadhan datang, sebagai seorang Muslim kita harus perlihatkan kegembiraan itu, baik pada Allah SWT maupun sesama kita umat manusia.
Kita tentu tak ingin Ramadhan yang mulia ini lewat dan berakhir begitu saja, tanpa ada nilai positif yang harus kita lakukan. Untuk itulah kita bertekad untuk memperbaiki diri melalui ibadah Ramadhan, untuk selanjutnya kita perlihatkan hasil-hasilnya dalam mengarungi kehidupan sesudah Ramadhan tersebut.
Said al-Hawwa menuliskan dalam Bukunya Al Islam bahwa pada hakikatnya Ramadhan merupakan madrasah, jika orang yang berpuasa pandai memanfaatkannya, mereka akan menjadi manusia baru, tidak seperti sebelumnya. Ramadhan adalah madrasah tempat seorang Muslim memperbarui ikatan-ikatan Islam pada dirinya dan mengambil bekal yang dapat menutupi segala kekurangan sebelumnya. Ramadhan merupakan syahru tarbiyah. Dalam bulan ini umat Islam dididik untuk bisa berbuat kebaikan sebanyak-banyaknya, baik dalam konteks vertikal (hubungan dengan Khalik) maupun horizontal (sesama makhluk). Dengan berbuat kebaikan pada dua konteks itu diharapkan tidak hanya tercipta kesalehan religius, tetapi juga kesalehan sosial. Bagi yang berbuat kebaikan disediakan hadiah (reward) berupa pahala, sedangkan bagi yang tidak disediakan hukuman (punishment) dalam bentuk dosa. Jika dikaitkan dengan taksonomi pendidikan model Benjamin S. Bloom, jelas bahwa pendidikan Ramadhan masuk dalam "kapling" pendidikan afektif.
Secara umum, pendidikan itu meliputi tiga hal pokok yang dituju bagi siswanya, yakni afektif, kognitif dan psikomotorik. Afektif yakni yang berkaitan dengan sikap, moral, etika, akhlak, manajemen emosi, dan lain-lain. Kognitif yakni yang berkaitan dengan aspek pemikiran, transfer ilmu, logika, analisis, dan lain-lain. Sedangkan psikomotorik adalah yang berkaitan dengan praktek atau aplikasi apa yang sudah diperolehnya melalui jalur kognitif.
Entah disadari atau mungkin juga tidak di sadari, apa yang ada di dalam praktek persekolahan kita di Indonesia sekarang ini lebih kepada masalah pengajaran dan bukan kepada masalah pendidikan. Baik itu mulai TK, SD, SMP, SMU sampai perguruan tinggi pun S1, S2 maupun S3, porsinya sekarang ini lebih kepada masalah kognitif atau transfer of Knowledgenya saja. Ini yang disebut dengan pengajaran. Sebatas pengajaranlah sekarang ini yang dipraktekkan di dalam proses belajar mengajar. Masalah apakah ilmu yang diajarkan itu siswa bisa mempraktekkan atau tidak, menjadi nomer ke sekian bagi tujuan pembelajaran. Demikian juga dengan masalah moral, akhlak, atau afektifnya menjadi nomer ke sekian juga di dalam masalah pembelajaran saat ini.
Jika dicermati, salah satu kelemahan pendidikan kita terletak pada aspek afektif. Hal itu dapat dibuktikan dengan menunjukkan banyaknya kasus negatif dalam bidang afektif yang mewarnai dunia pendidikan kita. Berbagai kasus pelecehan seksual yang dilakukan oknum guru terhadap murid, tawuran pelajar, penyontekan, menurunnya rasa hormat murid terhadap guru, banyaknya siswa yang terlibat pelanggaran seksual dan narkoba, dan lain-lain merupakan deretan panjang pelanggaran dalam bidang afektif.
Lantas, apa kontribusi pendidikan Ramadhan dalam kaitannya dengan penciptaan iklim pendidikan yang mengedepankan nilai-nilai afektif? Jika dicermati, konsep pendidikan Ramadhan pada prinsipnya sederhana, tetapi mendasar, yakni berlaku mutlaknya suatu peraturan (syariah). Peraturan dalam pendidikan Ramadhan diberlakukan secara tegas, termasuk konsekuensinya, yakni ketaatan pada peraturan dihargai dengan hadiah dan pelanggaran direspons dengan hukuman. Dalam dunia pendidikan kita, konsep seperti itu sebenarnya sudah ada, bahkan sudah lama, tetapi cenderung sebatas konsep. Kalaupun direalisasikan, realisasinya tidak maksimal dan kadang-kadang terkesan diskriminatif.
Hal itu turut menjadi variabel pengganggu yang menyebabkan perealisasian pendidikan afektif tidak sesuai harapan. Idealnya, kepada siswa yang taat dan berprestasi-tanpa memandang siapa, anak siapa dia, dan latar belakangnya bagaimana-pihak sekolah memberi hadiah. Apa pun bentuknya. Bagi pelaku pelanggaran, sekecil apa pun kadar pelanggarannya, hukuman bersifat mendidik harus diberikan. Ini penting untuk mendukung tumbuhnya kesadaran siswa. Dalam hal ini, perlu mendapatkan pemahaman yang benar bahwa hadiah tidak harus diartikan materi dan hukuman tidak harus diartikan hukuman fisik.
Pujian yang tepat konteks, misalnya, merupakan salah satu bentuk hadiah yang baik. Kesan yang selama ini ada dan realitanya memang demikian, hukuman dan hadiah itu dianggap hal sepele sehingga tidak diberikan kecuali dalam momentum monumental, misalnya saat kelulusan. Akibatnya, hadiah dan hukuman yang efek psikologisnya besar bagi siswa tidak memiliki kesempatan untuk mewarnai perilaku afektif siswa.
Jika direalisasikan secara proporsional, hadiah seperti apa pun wujudnya akan menguatkan motivasi belajar. Kebalikannya, hukuman dalam bentuk apa pun akan menumbuhkan kesadaran. Jika dicermati dari segi hakikatnya, hadiah dan hukuman sebenarnya merupakan salah satu bentuk treatment dalam dunia pendidikan. Pemberian treatment itu penting karena aspek afektif sulit tumbuh secara alamiah dalam diri siswa. Sayangnya, pemberian hadiah dan hukuman itu kurang mentradisi dalam pendidikan kita. Ramadhan ini kiranya merupakan momentum yang tepat untuk mempelajari bagaimana seharusnya pendidikan afektif diimplementasikan. Wallahu’alam bisshowab.
*) Disarikan dari berbagai sumber